Pola cuaca adalah bagian penting dalam kehidupan kita. Pola
ini memengaruhi tanaman pangan kita, air yang kita gunakan, tempat tinggal,
aktivitas dan kesehatan kita. Oleh karena itu, perubahan iklim benar-benar
berdampak serius bagi kehidupan kita. Tidak seorang pun yang tahu dengan
pasti kenyataan yang akan terjadi di masa depan. Tetapi para ahli dapat
menggunakan ilmu pengetahuan untuk memberi gambaran tentang bagaimana iklim
akan berubah jika kita terus melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya
perubahan iklim, seperti menggunduli hutan, menghamburkan energi, dan
menerapkan sistem pertanian yang buruk.
Perubahan Iklim
Perubahan iklim diartikan sebagai
perubahan dalam jangka panjang dalam hal cuaca dalam peridode waktu tertentu,
umumnya antara puluhan hingga ratusan tahun. Perubahan iklim merupakan sebuah
bencana besar dan malapetaka bagi umat manusia, hal ini dikarenakan dampak
perubahan iklim bagi kehidupan manusia sangat merugikan sekali. Dan inilah
pembahasan singkat mengenai berbagai macam dampak perubahan iklim bagi
kehidupan dimuka bumi.
Bagaimana iklim akan berubah di Indonesia? Menurut
data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), selama abad 20,
Indonesia mengalami peningkatan suhu rata-rata udara di permukaan tanah 0,5
derajat celcius. Jika dibandingkan periode tahun 1961 hingga 1990, rata-rata
suhu di Indonesia diproyeksikan meningkat 0,8 sampai 1,0 derajat Celcius antara
tahun 2020 hingga 2050.
-
Musim kemarau yang lebih panas dan
berkepanjangan, termasuk gelombang panas.
-
Hujan yang berkurang di musim kemarau,
dengan kekeringan yang parah.
-
Curah hujan yang berlebih di musim
penghujan.
-
Naiknya permukaan air laut.
Dampak perubahan iklim pada kehidupan masyarakat
diantaranya;
1.
Pertanian
Hasil panen menurun, baik dari segi
kualitas maupun kuantitas. Sebagian tanaman mungkin akan hancur, sehingga
semakin sulit menghasilkan tanaman pangan yang baik. Tingkat
kesuburan sebagian tanah berkurang sehingga tidak dapat digunakan sebagai lahan
pertanian. Petani akan semakin sulit mendapatkan makanan. Sebagian warga
terpaksa harus pindah ke tempat lain. Petani-petani mungkin harus berebut
untuk menanam di lahan yang subur.
2.
Hutan
Jumlah makanan dan produk hutan akan
menurun. Manusia yang menjual hasil hutan akan semakin merugi. Fungsi hutan sebagai pengatur sistem hidrologi dan penyaring
air akan menjadi lemah. Kuantitas air tanah akan berkurang dan
kualitas air pun akan menurun. Dengan berkurangnya keanekaragaman
hayati, sistem alami tidak akan berjalan secara efektif. Tanaman akan semakin
menderita karena perubahan iklim meningkatkan jumlah hama dan penyakit.
3.
Perikanan
Budidaya
perikanan penting sebagai mata pencaharian dan sumber makanan bagi masyarakat Indonesia. Jika persediaan
air berkurang dan suhu air laut memanas, maka jumlah ikan akan menurun. Para
nelayan pun akan sulit memperoleh makanan dan penghasilan.
4.
Udara Semakin Tidak Sehat
Dampak perubahan iklim lainnya adalah
tingkat pencemaran udara yang tinggi sehingga membuat kualitas udara semakin
tidak sehat. Perubahan iklim, global warming, pertumbuhan penduduk semakin
meningkatkan permintaan akan energi. Sedangkan kita tahu bahwa energi
dihasilkan dari bahan bakar fosil yang notabene mengelurkan emisi gas berupa
kabon dioksida.
5.
Harga pangan meningkat
Untuk beberapa dekade mendatang, para
pakar memprediksi hasil tanaman pangan mulai dari jagung hingga gandum, beras
hingga kapas, akan menurun hingga 30 persen. Hasil yang menurun ini berujung
pada peningkatan harga pangan. Sebab, akan ada proses, penyimpanan, dan
transportasi pangan yang membutuhkan air dan energi lebih.
6.
Siklus yang tidak sehat
Meningkatnya suhu ditambah dengan
populasi global akan mencuatkan permintaan energi. Ini akhirnya berujung pada
produksi emisi yang menyebabkan perubahan iklim dan, ironisnya, memicu lebih
banyak lagi emisi. Sedangkan curah hujan, diproyeksikan akan menurun sebanyak
40 persen di beberapa lokasi.
7.
Rusaknya infrastruktur
Perubahan iklim memicu lebih banyak
cuaca ekstrem yang menghasilkan bencana. Seperti yang terjadi di DKI Jakarta
pada Januari hingga Februari 2013. Hujan dalam intensitas tinggi
menyebabkan banjir besar, Kamis (17/1). Ibu Kota Indonesia ini lumpuh ketika
nyaris semua titik jalannya terendam banjir, termasuk pusat pemerintahan di
Jakarta Pusat. Jalan dan bus transportasi umum yang merupakan infrastruktur
penting bagi warga Jakarta tidak lagi berfungsi. Data Badan
Nasional Penanggulangan Bencana menyebut, 15.423 jiwa harus mengungsi. Daerah
yang terendam meliputi 720 RT, 309 RW, 73 Kelurahan, dan 31 Kecamatan.
8.
Berkurangnya sumber air
Membludaknya jumlah penduduk
menyebabkan tingginya permintaan air. Ini menimbulkan penyedotan besar-besaran
terhadap sumber air yang ada. Khusus untuk Jakarta, naiknya muka air laut dapat
membuat batas antara air tanah dan air laut semakin jauh ke daratan. Sehingga
mencemari lebih banyak sumber air minum.
9.
Meningkatnya penyakit pernapasan
Perubahan iklim juga menyebabkan
polusi udara yang akhirnya menurunkan fungsi dari paru-paru. Di kota besar
seperti New York City, Amerika Serikat, kasus asma akan meningkat sebanyak
sepuluh persen.
10.
Bencana hidrologi
Bencana alam, hasil dari perubahan
iklim, meningkatkan badai dan cuaca ekstrem. Hanya beberapa kota di dunia yang
mempunyai sistem penanggulan yang cukup baik untuk bencana-bencana tersebut.
Adaptasi dan
Mitigasi
Adaptasi merupakan proses penyesuaian apapun yang terjadi
secara alamiah di dalam ekosistem atau dalam sistem manusia sebagai reaksi
terhadap perubahan iklim, baik dengan meminimalkan tingkat perusakan maupun
mengembangkan peluang-peluang yang menguntungkan sebagai reaksi terhadap iklim
yang sedang berubah atau bencana yang akan terjadi yang terkait dengan
perubahan-perubahan lingkungan.
Nenek moyang kita telah mengatasi dan menyesuaikan diri
terhadap perubahan iklim selama ribuan tahun (Tebtebba). Di seluruh dunia,
masyarakat adat telah mengembangkan langkah-langkah adaptasi inovatif untuk
menghadapi perubahan iklim berdasarkan pengetahuan tradisional mereka.
Langkah-langkah ini meliputi menanam berbagai tanaman dan varietas tanaman,
memindahkan ladang, mengubah strategi berburu dan teknik menangkap ikan dan
lain-lain (AIPP).
Beberapa contoh adaptasi dari masyarakat adat di berbagai
negara:
1.
Bangladesh, para penduduk desa saat
ini menciptakan kebun sayur terapung untuk melindungi mata pencahariannya dari
banjir.
2.
Vietnam, berbagai komunitas sedang
membantu menanam pohon bakau yang rimbun di sepanjang pesisir untuk memecah
ombak badai tropis.
3.
Di sebuah desa pesisir di Vanua Levu,
Fiji, vanua (yang mengacu pada hubungan masyarakat dengan tanahnya melalui
nenek moyang dan roh halus penjaganya) berfungsi sebagai sebuah prinsip pemandu
bagi pengelolaan dan penggunaan berkelanjutan hutan hujan, hutan bakau, terumbu
karang, dan kebun desa.
4.
Di bagian lainnya di Pasifik,
masyarakat adat telah membangun dinding-laut yang menyediakan sebuah sistem
drainase air dan tangki air dan melarang penebangan pohon.
5.
Desa terpencil Guarita di Honduras
saat ini memanfaatkan metode pertanian tradisional Quezungal. Mereka menanami
tanaman di bawah pohon-pohon yang akarnya mencengkeram tanah dan menahannya
dari erosi. Mereka juga memangkas tanaman untuk menyediakan gizi bagi lapisan
tanah dan untuk memelihara pasokan air tanah. Terakhir, mereka sedang membuat
teras-teras untuk menghindari erosi tanah (Tebtebba).
Selain proses adaptasi, mitigasi juga perlu dilakukan dalam
upaya mencegah bertambahnya dampak perubahan iklim. Mitigasi adalah proses
pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena penyebab utama dari perubahan iklim
adalah penggunaan bahan bakar fosil, seperti batubara dan minyak bumi, maka
negara-negara seperti Amerika, Inggris dan Jepang, dan negara-negara industri
lainnya diharuskan mengurangi 80% emisi mereka pada tahun 2050.
Di tingkat internasional dan nasional, Negara-negara
mencoba membangun berbagai skema/mekanisme untuk pengurangan emisi gas
ruma kaca. Salah satunya adalah REDD (Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation) dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Pengurangan
Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan”.
Deforestasi dan degradasi hutan merupakan salah satu penyebab
meningkatnya emisi gas rumah kaca. Beberapa kalangan menganggap bahwa membayar
negara lain untuk mengurangi deforestasi merupakan cara yang lebih mudah dan
murah untuk mengurangi emisi global. Dengan REDD, negara-negara dan pengusaha
kaya mendanai negara-negara berkembang di daerah tropis untuk membantu mereka
mengurangi deforestasi.
Namun, menurut masyarakat adat, cara terbaik bagi mitigasi
perubahan iklim adalah dengan mengubah produksi dan pola konsumsi yang tidak
berkelanjutan yang masih mendominasi sistem yang berlaku di dunia ini. Langkah
mitigasi terbaik mencakup perubahan gaya hidup secara individu atau kolektif
dan perubahan jalur pembangunan secara struktural menuju ke arah pembangunan
yang berkelanjutan dan rendah karbon
Aksi nyata adaptasi dan mitigasi perubahan iklim menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari penerapan strategi pembangunan rendah karbon
dan tahan perubahan iklim, yang perlu terus dikembangkan dan diperkuat
pelaksanaannya. Guna mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam melaksanakan
upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, Menteri Lingkungan Hidup dalam
acara National Summit Perubahan Iklim Ke-1 di Bali, pada bulan Oktober 2011,
telah meluncurkan Program Kampung Iklim (ProKlim).
Melalui pelaksanaan Proklim, Pemerintah memberikan penghargaan
terhadap masyarakat pada lokasi minimal setingkat RW/Dusun/Dukuh dan maksimal
setingkat Kelurahan/Desa yang secara berkesinambungan telah melakukan aksi
lokal terkait dengan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat
dikembangkan dan dilaksanakan di tingkat lokal mencakup antara lain:
a. Pengendalian banjir, longsor atau kekeringan
b. Peningkatan ketahanan pangan
c. Penanganan kenaikan muka air laut
d. Pengendalian penyakit terkait iklim
e. Pengelolaan dan pemanfaatan sampah/limbah
f. Penggunaan energi baru, terbarukan dan konservasi energi
g. Budidaya pertanian rendah emisi GRK
h. Peningkatan tutupan vegetasi
i. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
Keberadaan kelompok masyarakat dan tokoh lokal yang mampu
berperan sebagai penggerak pelaksanaan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim, serta ketersediaan instrumen pendukung lainnya merupakan faktor penting
yang dievaluasi dalam proses penilaian usulan ProKlim. Pengusulan lokasi
ProKlim kepada KLH dapat dilakukan oleh berbagai pihak, baik secara individu
maupun kelompok, yang mempunyai informasi bahwa masyarakat di lokasi tertentu
telah melakukan aksi lokal yang dapat mendukung upaya adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim. Pada pelaksanaan Proklim tahun
2012, KLH menerima pengusulan 71 calon lokasi Proklim yang tersebar di 15
Provinsi. Jumlah pengusulan ProKlim tahun 2013 meningkat menjadi 180 lokasi
yang tersebar di 14 Provinsi (69 Kabupaten/Kota).
Sumber
: National Geographic Indonesia