Friday, 25 September 2015

PERUBAHAN IKLIM, ADAPTASI, DAN MITIGASI

Pola cuaca adalah bagian penting dalam kehidupan kita. Pola ini memengaruhi tanaman pangan kita, air yang kita gunakan, tempat tinggal, aktivitas dan kesehatan kita. Oleh karena itu, perubahan iklim benar-benar berdampak serius bagi kehidupan kita. Tidak seorang pun yang tahu dengan pasti kenyataan yang akan terjadi di masa depan. Tetapi para ahli dapat menggunakan ilmu pengetahuan untuk memberi gambaran tentang bagaimana iklim akan berubah jika kita terus melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim, seperti menggunduli hutan, menghamburkan energi, dan menerapkan sistem pertanian yang buruk.
Perubahan Iklim
Perubahan iklim diartikan sebagai perubahan dalam jangka panjang dalam hal cuaca dalam peridode waktu tertentu, umumnya antara puluhan hingga ratusan tahun. Perubahan iklim merupakan sebuah bencana besar dan malapetaka bagi umat manusia, hal ini dikarenakan dampak perubahan iklim bagi kehidupan manusia sangat merugikan sekali. Dan inilah pembahasan singkat mengenai berbagai macam dampak perubahan iklim bagi kehidupan dimuka bumi.

Bagaimana iklim akan berubah di Indonesia? Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), selama abad 20, Indonesia mengalami peningkatan suhu rata-rata udara di permukaan tanah 0,5 derajat celcius. Jika dibandingkan periode tahun 1961 hingga 1990, rata-rata suhu di Indonesia diproyeksikan meningkat 0,8 sampai 1,0 derajat Celcius antara tahun 2020 hingga 2050.
-       Musim kemarau yang lebih panas dan berkepanjangan, termasuk gelombang panas.
-       Hujan yang berkurang di musim kemarau, dengan kekeringan yang parah.
-       Curah hujan yang berlebih di musim penghujan.
-       Naiknya permukaan air laut.
Dampak perubahan iklim pada kehidupan masyarakat diantaranya;
1.    Pertanian
Hasil panen menurun, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sebagian tanaman mungkin akan hancur, sehingga semakin sulit menghasilkan tanaman pangan yang baik. Tingkat kesuburan sebagian tanah berkurang sehingga tidak dapat digunakan sebagai lahan pertanian. Petani akan semakin sulit mendapatkan makanan. Sebagian warga terpaksa harus pindah ke tempat lain. Petani-petani mungkin harus berebut untuk menanam di lahan yang subur.
2.    Hutan
Jumlah makanan dan produk hutan akan menurun. Manusia yang menjual hasil hutan akan semakin merugi. Fungsi hutan sebagai pengatur sistem hidrologi dan penyaring air akan menjadi lemah. Kuantitas air tanah akan berkurang dan kualitas air pun akan menurun. Dengan berkurangnya keanekaragaman hayati, sistem alami tidak akan berjalan secara efektif. Tanaman akan semakin menderita karena perubahan iklim meningkatkan jumlah hama dan penyakit.
3.    Perikanan
Budidaya perikanan penting sebagai mata pencaharian dan sumber makanan bagi masyarakat Indonesia. Jika persediaan air berkurang dan suhu air laut memanas, maka jumlah ikan akan menurun. Para nelayan pun akan sulit memperoleh makanan dan penghasilan.
4.    Udara Semakin Tidak Sehat
Dampak perubahan iklim lainnya adalah tingkat pencemaran udara yang tinggi sehingga membuat kualitas udara semakin tidak sehat. Perubahan iklim, global warming, pertumbuhan penduduk semakin meningkatkan permintaan akan energi. Sedangkan kita tahu bahwa energi dihasilkan dari bahan bakar fosil yang notabene mengelurkan emisi gas berupa kabon dioksida.
5.    Harga pangan meningkat
Untuk beberapa dekade mendatang, para pakar memprediksi hasil tanaman pangan mulai dari jagung hingga gandum, beras hingga kapas, akan menurun hingga 30 persen. Hasil yang menurun ini berujung pada peningkatan harga pangan. Sebab, akan ada proses, penyimpanan, dan transportasi pangan yang membutuhkan air dan energi lebih.
6.    Siklus yang tidak sehat
Meningkatnya suhu ditambah dengan populasi global akan mencuatkan permintaan energi. Ini akhirnya berujung pada produksi emisi yang menyebabkan perubahan iklim dan, ironisnya, memicu lebih banyak lagi emisi. Sedangkan curah hujan, diproyeksikan akan menurun sebanyak 40 persen di beberapa lokasi.  
7.    Rusaknya infrastruktur
Perubahan iklim memicu lebih banyak cuaca ekstrem yang menghasilkan bencana. Seperti yang terjadi di DKI Jakarta pada Januari hingga Februari 2013. Hujan dalam intensitas tinggi menyebabkan banjir besar, Kamis (17/1). Ibu Kota Indonesia ini lumpuh ketika nyaris semua titik jalannya terendam banjir, termasuk pusat pemerintahan di Jakarta Pusat. Jalan dan bus transportasi umum yang merupakan infrastruktur penting bagi warga Jakarta tidak lagi berfungsi. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebut, 15.423 jiwa harus mengungsi. Daerah yang terendam meliputi 720 RT, 309 RW, 73 Kelurahan, dan 31 Kecamatan.
8.    Berkurangnya sumber air
Membludaknya jumlah penduduk menyebabkan tingginya permintaan air. Ini menimbulkan penyedotan besar-besaran terhadap sumber air yang ada. Khusus untuk Jakarta, naiknya muka air laut dapat membuat batas antara air tanah dan air laut semakin jauh ke daratan. Sehingga mencemari lebih banyak sumber air minum.
9.    Meningkatnya penyakit pernapasan
Perubahan iklim juga menyebabkan polusi udara yang akhirnya menurunkan fungsi dari paru-paru. Di kota besar seperti New York City, Amerika Serikat, kasus asma akan meningkat sebanyak sepuluh persen.
10.  Bencana hidrologi
Bencana alam, hasil dari perubahan iklim, meningkatkan badai dan cuaca ekstrem. Hanya beberapa kota di dunia yang mempunyai sistem penanggulan yang cukup baik untuk bencana-bencana tersebut.

Adaptasi dan Mitigasi
Adaptasi merupakan proses penyesuaian apapun yang terjadi secara alamiah di dalam ekosistem atau dalam sistem manusia sebagai reaksi terhadap perubahan iklim, baik dengan meminimalkan tingkat perusakan maupun mengembangkan peluang-peluang yang menguntungkan sebagai reaksi terhadap iklim yang sedang berubah atau bencana yang akan terjadi yang terkait dengan perubahan-perubahan lingkungan.
Nenek moyang kita telah mengatasi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim selama ribuan tahun (Tebtebba). Di seluruh dunia, masyarakat adat telah mengembangkan langkah-langkah adaptasi inovatif untuk menghadapi perubahan iklim berdasarkan pengetahuan tradisional mereka. Langkah-langkah ini meliputi menanam berbagai tanaman dan varietas tanaman, memindahkan ladang, mengubah strategi berburu dan teknik menangkap ikan dan lain-lain (AIPP).
Beberapa contoh adaptasi dari masyarakat adat di berbagai negara:
1.    Bangladesh, para penduduk desa saat ini menciptakan kebun sayur terapung untuk melindungi mata pencahariannya dari banjir.
2.    Vietnam, berbagai komunitas sedang membantu menanam pohon bakau yang rimbun di sepanjang pesisir untuk memecah ombak badai tropis.
3.    Di sebuah desa pesisir di Vanua Levu, Fiji, vanua (yang mengacu pada hubungan masyarakat dengan tanahnya melalui nenek moyang dan roh halus penjaganya) berfungsi sebagai sebuah prinsip pemandu bagi pengelolaan dan penggunaan berkelanjutan hutan hujan, hutan bakau, terumbu karang, dan kebun desa.
4.    Di bagian lainnya di Pasifik, masyarakat adat telah membangun dinding-laut yang menyediakan sebuah sistem drainase air dan tangki air dan melarang penebangan pohon.
5.    Desa terpencil Guarita di Honduras saat ini memanfaatkan metode pertanian tradisional Quezungal. Mereka menanami tanaman di bawah pohon-pohon yang akarnya mencengkeram tanah dan menahannya dari erosi. Mereka juga memangkas tanaman untuk menyediakan gizi bagi lapisan tanah dan untuk memelihara pasokan air tanah. Terakhir, mereka sedang membuat teras-teras untuk menghindari erosi tanah (Tebtebba).
Selain proses adaptasi, mitigasi juga perlu dilakukan dalam upaya mencegah bertambahnya dampak perubahan iklim. Mitigasi adalah proses pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena penyebab utama dari perubahan iklim adalah penggunaan bahan bakar fosil, seperti batubara dan minyak bumi, maka negara-negara seperti Amerika, Inggris dan Jepang, dan negara-negara industri lainnya diharuskan mengurangi 80% emisi mereka pada tahun 2050.
Di tingkat internasional dan nasional, Negara-negara  mencoba membangun berbagai skema/mekanisme untuk pengurangan emisi gas ruma kaca. Salah satunya adalah REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan”.
Deforestasi dan degradasi hutan merupakan salah satu penyebab meningkatnya emisi gas rumah kaca. Beberapa kalangan menganggap bahwa membayar negara lain untuk mengurangi deforestasi merupakan cara yang lebih mudah dan murah untuk mengurangi emisi global. Dengan REDD, negara-negara dan pengusaha kaya mendanai negara-negara berkembang di daerah tropis untuk membantu mereka mengurangi deforestasi.
Namun, menurut masyarakat adat, cara terbaik bagi mitigasi perubahan iklim adalah dengan mengubah produksi dan pola konsumsi yang tidak berkelanjutan yang masih mendominasi sistem yang berlaku di dunia ini. Langkah mitigasi terbaik mencakup perubahan gaya hidup secara individu atau kolektif dan perubahan jalur pembangunan secara struktural menuju ke arah pembangunan yang berkelanjutan dan rendah karbon
Aksi nyata adaptasi dan mitigasi perubahan iklim menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penerapan strategi pembangunan rendah karbon dan tahan perubahan iklim, yang perlu terus dikembangkan dan diperkuat pelaksanaannya. Guna mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam melaksanakan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, Menteri Lingkungan Hidup dalam acara National Summit Perubahan Iklim Ke-1 di Bali, pada bulan Oktober 2011, telah meluncurkan Program Kampung Iklim (ProKlim).
Melalui pelaksanaan Proklim, Pemerintah memberikan penghargaan terhadap masyarakat pada lokasi minimal setingkat RW/Dusun/Dukuh dan maksimal setingkat Kelurahan/Desa yang secara berkesinambungan telah melakukan aksi lokal terkait dengan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat dikembangkan dan dilaksanakan di tingkat lokal mencakup antara lain:
a. Pengendalian banjir, longsor atau kekeringan
b. Peningkatan ketahanan pangan
c. Penanganan kenaikan muka air laut
d. Pengendalian penyakit terkait iklim
e. Pengelolaan dan pemanfaatan sampah/limbah
f. Penggunaan energi baru, terbarukan dan konservasi energi
g. Budidaya pertanian rendah emisi GRK
h. Peningkatan tutupan vegetasi
i. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
Keberadaan kelompok masyarakat dan tokoh lokal yang mampu berperan sebagai penggerak pelaksanaan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta ketersediaan instrumen pendukung lainnya merupakan faktor penting yang dievaluasi dalam proses penilaian usulan ProKlim. Pengusulan lokasi ProKlim kepada KLH dapat dilakukan oleh berbagai pihak, baik secara individu maupun kelompok, yang mempunyai informasi bahwa masyarakat di lokasi tertentu telah melakukan aksi lokal yang dapat mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pada pelaksanaan Proklim tahun 2012, KLH menerima pengusulan 71 calon lokasi Proklim yang tersebar di 15 Provinsi. Jumlah pengusulan ProKlim tahun 2013 meningkat menjadi 180 lokasi yang tersebar di 14 Provinsi (69 Kabupaten/Kota).


Sumber : National Geographic Indonesia