Kegiatan PKKM pertama hari Jumat 12 September 2014 ini dimulai pukul 19.15 di selasar oktagon. Kami, Pradawihaya, mobilisasi menuju labtek VI lantai 2. Pertemuan hari ini dihadiri oleh 31 dari 38 orang karena Ipit, Habib, Zikri, dan Bima mengikuti kegiatan gladi bersih untuk acara besar UKM keesokan harinya, sedangkan Charla sejak hari Kamis berada di Jombang untuk acara keluarga, begitu pula dengan Ray di Kediri, dan Dhika di Jakarta.
Kami dibagi menjadi 4 kelompok, saya sendiri tergabung dalam kelompok 3 bersama Yuki, Diana, Ildo, Angga, Habib, Dhika, Ipit, dan Bima.
Setelah duduk berkelompok, kami mengecek kelengkapan spek standar. Setelah itu, bagi yang muslim menunaikan ibadah shalat Isya. Ini pertama kalinya untuk saya wudhu dari botol dan shalat di atas hamparan ponco. Dengan Cahya sebagai imam kami, suaranya kalah dengan suara bising musik dari unit yang sedang berlatihan di labtek sebrang. Sungguh jauh tingkat kenyamanan, kebersihan, dan kekhusyukkannya dibanding dengan shalat di mesjid bahkan mushola.
Selepas shalat, kami diajari dasar-dasar baris berbaris alias PBB, lalu kami diberitahu untuk memanggil kakak-kakak HMME dengan panggilan jendral bagi mahasiswa dan jendril bagi mahasiswi. Tak lupa kami Pradawihaya pun memiliki nama kopral untuk mahasiswa dan kopril untuk mahasiswinya.
Selanjutnya kami mobilisasi menuju selasar double helix disambut dengan orasi tentang kami, Pradawihaya, yang dianggap sudah dewasa, kamilah laskar- laskar yang akan terus berjuang serta tentang kesiapan kami melaksanakan PKKM ini dengan sebaik- baiknya dan kami juga harus siap menerima segala konsekuensinya. Para jendral dan jendril menyematkan slayer PKKM berwarna kuning di lengan kanan kami. Pendidikan Keprofesian dan Kehimpunanan Meteorologi pun resmi dibuka.
Setelah itu kami mobilisasi menuju tempat kami shalat Isya tadi, lantai 2 labtek VI. Kami mendiskusikan mengenai bencana meteorologi yang paling sering dibicarakan di Indonesia, yakni banjir. Banjir di kota Bandung, terutama di daerah Baleendah Bandung Selatan memang sering terjadi. Kami membahas tentang penyebab banjir tersebut, diantaranya karena bentuk topografi Bandung yang seperti cekungan atau mangkuk dengan Bandung Selatan sebagai dasar atau titik terendahnya. Dengan begitu, hujan dan aliran air dari pinggiran Bandung alias dataran lebih tinggi mengalir ke Bandung Selatan. Hal ini diperburuk oleh minimnya daerah resapan air karena padatnya pemukiman di Bandung Selatan. Kami pun mendiskusikan berbagai macam solusi untuk masalah banjir ini. Setelah banyak ide, pendapat, dan masukan tentang solusi meminimalkan banjir di daerah Baleendah, kami diberi tugas untuk studi kasus daerah rawan banjir selain Bandung secara berkelompok dalam waktu semalam.