Gas
rumah kaca di atmosfer Bumi yakni uap air (H2O), karbon dioksida (CO2),
metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O) memiliki waktu
hidup (lifetime) yang berbeda-beda di
atmosfer. Uap air mempunyai lifetime
sekitar 10 hari di atmosfer, metana 12 tahun, dan dinitrogen oksida 114 tahun.
Untuk lifetime karbon dioksida,
banyak versi yang bermunculan. Para ilmuwan pro pemanasan global dan IPCC
menyatakan bahwa lifetime CO2
antara 50 – 200 tahun, sedangkan kelompok ilmuwan lain yang relatif netral
(atau bahkan kontra) dengan isu pemanasan global menyatakan lifetime CO2 berkisar antara
2 – 12 tahun. Dari penjelasan tersebut, jelas terlihat bahwa lifetime CO2 sangat
bervariasi, tergantung pada sumbernya.
Terlepas dari ada
atau tidaknya manipulasi data lifetime
CO2 yang dikeluarkan oleh IPCC, lifetime
gas-gas rumah kaca di atmosfer berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena setiap
gas rumah kaca masuk dan meninggalkan atmosfer melalui proses yang
berbeda-beda. Lifetime uap air di
atmosfer relatif pendek (hanya sekitar 10 hari) karena uap air sangat mudah
untuk masuk (melalui evaporasi dan transpirasi) dan keluar (melalui kondensasi,
deposisi, dan presipitasi) meninggalkan atmosfer. Metana juga mempunyai lifetime yang cukup singkat karena ia
merupakan gas yang reaktif. Dinitrogen oksida mempunyai lifetime yang cukup lama karena ia terurai dengan lambat di
stratosfer. Karbon dioksida mempunyai lifetime
yang paling bervariasi dan paling sulit untuk diperkirakan (dibandingkan
gas-gas rumah kaca lainnya) karena kompleksnya proses masuk dan keluarnya CO2
meninggalkan atmosfer. Ada juga beberapa faktor umpan balik (feedback) berkaitan dengan konsentrasi
CO2 yang belum diketahui dengan baik. Proses masuknya CO2
ke atmosfer terjadi melalui respirasi makhluk hidup, penguraian tumbuhan yang
sudah mati, letusan gunung api, pembakaran bahan bakar fosil, dan deforestasi.
CO2 keluar dari atmosfer melalui proses fotosintesis pada tumbuhan
dan fitoplankton serta diserap oleh lautan.
KECENDERUNGAN
PUBLIK PADA AL-GORE (An Inconvenient Truth) ATAU MONCKTON (Apocalypse?No!)
Penduduk dunia
sejauh ini masih cenderung setuju dengan teori pemanasan global yang
diungkapkan oleh Al Gore. Berkebalikan dari kecenderungan penduduk dunia,
sebuah survey menunjukkan bahwa hanya ada 34 % penduduk Amerika Serikat yang
setuju dengan isu pemanasan global. Di Indonesia, kesadaran akan isu pemanasan
global masih tergolong rendah dibanding negara-negara lain. Masyarakat
Indonesia yang sadar akan isu pemanasan global cenderung setuju dengan teori
pemanasan global yang disebabkan oleh manusia (setuju ke arah Al Gore). Hal ini
tidak terlepas dari maraknya pemberitaan mengenai isu pemanasan global (beserta
dampaknya) di berbagai media massa. Banyak orang yang tinggal di perkotaan
merasa akhir-akhir ini cuaca semakin panas, sehingga mereka semakin yakin
dengan adanya isu pemanasan global. Padahal, cuaca di perkotaan memang terasa
lebih panas daripada daerah sekitarnya karena efek pulau panas perkotaan (Urban Heat Island). Selain itu, luasnya
penyebaran data-data berbasis IPCC (Intergovernmental
Panel on Climate Change) di internet yang mendukung isu pemanasan global antropogenik
juga menyebabkan orang-orang yang sering menelusuri (browsing) internet terpengaruh dan cenderung setuju dengan isu
pemanasan global.
Pada akhir tahun 2009, seorang hacker berhasil membobol jaringan dari server Climate Research Unit (CRU) di University of East Anglia (UEA) di Inggris. Hacker tersebut mendapat sekumpulan data dan email yang membahas tentang isu pemanasan global. Email-email itu berisi percakapan antara para ilmuwan di tempat tersebut sejak tahun 1997 sampai sekarang yang menunjukkan adanya manipulasi pada data pemanasan global. Terbongkarnya kasus ini membuat sebagian masyarakat di dunia Barat gempar dan diperkirakan akan menurunkan kecenderungan publik pada isu pemanasan global. Berita ini ternyata kurang diekspos di Indonesia, sehingga masih banyak masyarakat Indonesia yang cenderung setuju dengan isu pemanasan global yang digaungkan oleh Al Gore. Terlepas dari itu, mungkin sebagian orang akan tetap mempertahankan isu pemanasan global. Isu ini membuat banyak orang sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Jika tidak ada isu pemanasan global, bisa jadi aktivitas perusakan lingkungan semakin menjadi-jadi.
Pada akhir tahun 2009, seorang hacker berhasil membobol jaringan dari server Climate Research Unit (CRU) di University of East Anglia (UEA) di Inggris. Hacker tersebut mendapat sekumpulan data dan email yang membahas tentang isu pemanasan global. Email-email itu berisi percakapan antara para ilmuwan di tempat tersebut sejak tahun 1997 sampai sekarang yang menunjukkan adanya manipulasi pada data pemanasan global. Terbongkarnya kasus ini membuat sebagian masyarakat di dunia Barat gempar dan diperkirakan akan menurunkan kecenderungan publik pada isu pemanasan global. Berita ini ternyata kurang diekspos di Indonesia, sehingga masih banyak masyarakat Indonesia yang cenderung setuju dengan isu pemanasan global yang digaungkan oleh Al Gore. Terlepas dari itu, mungkin sebagian orang akan tetap mempertahankan isu pemanasan global. Isu ini membuat banyak orang sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Jika tidak ada isu pemanasan global, bisa jadi aktivitas perusakan lingkungan semakin menjadi-jadi.
DATA METEOROLOGI
DI IPCC YANG SUDAH DIMANIPULASI MASIH DIGUNAKAN
Sekumpulan ilmuwan yang meneliti pemanasan global terbagi
menjadi 2 kubu. Kubu pertama setuju dengan pemanasan global yang disebabkan
oleh manusia (Anthropogenic Global
Warming (AGW)), sedangkan kubu lain tidak setuju dengan AGW. Kubu pertama
juga dikenal sebagai kubu pro Al Gore. Hingga saat ini, jumlah ilmuwan pro AGW
masih lebih banyak daripada yang kontra AGW. Terbongkarnya kasus manipulasi
data-data IPCC tidak serta merta membuat masyarakat dunia (termasuk para
ilmuwan di luar dunia Barat) sadar dan mengubah kecenderungannya dari isu
pemanasan global. Kasus manipulasi data-data IPCC kurang diekspos di media
massa, serta data-data IPCC di internet masih banyak beredar. Selain itu,
kebanyakan ilmuwan di luar dunia Barat masih kekurangan dana dan peralatan
untuk meneliti lebih lanjut tentang isu pemanasan global beserta dampaknya. Hal
ini membuat banyak ilmuwan di luar dunia Barat di bidang meteorologi (dan
bidang-bidang lainnya) masih mengandalkan data-data IPCC untuk digunakan
sebagai basis penelitian mereka. Para peneliti dari kubu pro Al Gore pun tidak menyerah
untuk terus menyebarkan data-data pemanasan global yang telah dimanipulasi.
Dengan demikian, data-data meteorologi di IPCC masih digunakan sampai sekarang
di dunia meteorologi.
PENYEBAB
PERUBAHAN IKLIM DILIHAT DARI KECENDERUNGAN PENDAPAT AL-GORE DAN MONCKTON
Dalam
film “An Inconvenient Truth”, Al Gore
sejak awal sudah menyatakan bahwa penyebab perubahan iklim yang terjadi
akhir-akhir ini adalah peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (terutama CO2).
Berdasarkan data-data yang ia tampilkan di film ini, terdapat korelasi antara
konsentrasi CO2 di atmosfer dengan suhu rata-rata global. Semakin
tinggi konsentrasi CO2 di atmosfer, semakin tinggi suhu rata-rata
global. Akhir-akhir ini terjadi peningkatan konsentrasi CO2 jauh
melebihi tingkat yang pernah dicapai sebelumnya sejak 650.000 tahun yang lalu.
Oleh karena itu, Al Gore menyimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi CO2
akhir-akhir ini terjadi karena aktivitas manusia yang mengeluarkan emisi CO2
melalui pembakaran bahan bakar fosil.
Monckton justru
meragukan pernyataan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh peningkatan
konsentrasi CO2 di atmosfer dalam filmnya yang berjudul “Apocalypse? No!”. Ia menemukan beberapa
fakta mengejutkan mengenai data-data dari IPCC. Banyak data-data dari IPCC yang
dipalsukan agar seolah-olah memperlihatkan bahwa perubahan iklim benar-benar
terjadi akibat peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer. Data-data
dari Monckton menunjukkan korelasi yang buruk antara konsentrasi CO2
di atmosfer dengan suhu rata-rata global. Fenomena yang korelasinya cukup baik
dengan dinamika perubahan suhu rata-rata global adalah aktivitas Matahari.
Ketika aktivitas Matahari mencapai tingkat maksimum, suhu rata-rata global pun
mencapai tingkat maksimum. Begitu pula sebaliknya.