Sunday 22 February 2015

BANJIR JAKARTA DAN PERUBAHAN IKLIM



Banjir merupakan permasalahan klasik yang terus melanda ibu kota Indonesia, Jakarta. Dari tahun ke tahun, permasalahan ini tak kunjung usai. Bukannya menjadi lebih baik, namun bertambah parah. Banyak faktor yang menyebabkan banjir di Kota Jakarta ini. Salah satunya adalah faktor demografi. Berdasarkan data penduduk yang penulis ambil dari situs metropolitan.inilah.com menyatakan bahwa penduduk Jakarta saat ini sudah mencapai ambang batas yang telah ditetapkan, yaitu mencapai 12.1 jiwa. Padahal batas penduduk yang ditetapkan oleh Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah(RTRW) 2030, ditetapkan penduduk DKI Jakarta hanya mencapai 12,5 juta orang.
Berdasarkan data yang diambil dari media online Jakarta Raya yang terbit pada Kamis, 12 Februari 2015 menyatakan bahwa banjir yang melanda Jakarta dalam 4 tahun terakhir ini diantaranya yang paling besar dampaknya terjadi di tahun 2007, 2013, 2014 dan 2015. Data dampak banjir tahun 2013 dan 2015 :


Banjir 2013
Banjir 2015
Luas genangan: 41 km2 di Jakarta, 124 kelurahan
Luas genangan: 12 kelurahan dengan 53 RW
Debit air:    
Titik banjir : 107 titik (tertinggi)
Katulampa 210 cm (Siaga I)
Debit air : Sampai pukul 12:00 10 Februari 2015
Manggarai 1.030 cm (Siaga I)
Katulampa : 50 cm (Siaga IV)
Curah hujan: Jakarta 100 mm per hari
Depok : 135 cm (Siaga IV)
Bogor 22-75 mm per hari
Karet : 610 cm (Siaga 1)
Kerugian materi: Rp 15 triliun
Sunter Selatan : 270 cm (Siaga 1)
Korban: 12 tewas
Waduk Pluit : 145 cm (Siaga 1)
Pengungsi: 33.500 orang
Curah hujan : Pukul 07.00 8 Februari 2015 sampai pukul 07.00 9 Februari 2015 (titik terbesar)

- Bogor : intensitas ringan 0,1-5 mm/jam
- Depok : intensitas sedang 5-10 mm/jam
- Ciganjur : intensitas lebat 10-20 mm/jam
- Kebayoran Baru : intensitas lebat 10-20 mm/jam
- Kelapa Gading : intensitas lebat 10-20 mm/jam
- Tomang, Kemayoran, Pulomas, Manggarai : : intensitas sangat lebat
Korban: 1 tewas
Pengungsi: 14.163 (sampai 10 Februari 2015)

























Salah satu faktor yang menyebabkan banjir di Jakarta adalah faktor demografi penduduknya. Selain itu, dari faktor demografi penduduk akan memiliki hubungan yang erat dengan faktor perubahan iklim. Mengapa hal seperti demikian dapat terjadi? Karena berdasarkan analisis penulis, semakin banyak manusia yang mendiami suatu daerah, aktivitasnya akan semakin banyak. Misal aktivitas perindustrian yang setiap harinya dapat mengemisikan gas CO dan CO2 ke atmosfer hingga berefek pada gas rumah kaca yang nantinya akan menyebabkan perubahan iklim, serta kondisi iklim yang berubah dan tidak teratur. Misalnya saja dengan kondisi hujan yang kini sering turun tidak pada musimnya dan intensitas hujan turun yang sangat lama. Tentunya hal tersebut akan berpengaruh pada kondisi banjir yang terjadi di Jakarta.

Tuesday 10 February 2015

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP BERAGAI LAPISAN DI BUMI

Lapisan Bumi yang terdiri dari litosfer, hidrosfer, kriosfer, biosfer, dan humanosfer sedang dan akan terkena dampak dari perubahan iklim (pemanasan global). Litosfer adalah bagian terluar Bumi yang bersifat padat (karena sebagian besar tersusun oleh batuan). Kriosfer hanya mencakup air dalam bentuk es yang ada di Bumi, sedangkan keseluruhan air di Bumi yang bukan es termasuk dalam hidrosfer. Bagian dari Bumi yang ditinggali dan dipengaruhi oleh manusia disebut humanosfer, sedangkan biosfer berlaku bagi keseluruhan makhluk hidup di Bumi. Dampak perubahan iklim pada litosfer, hidrosfer, dan kriosfer saling berkaitan satu sama lain.        

Dalam skala global, perubahan iklim akan mengurangi total massa es (kriosfer) yang berada di atas litosfer, terutama di atas kerak benua. Akibatnya, terjadi perubahan kesetimbangan isostasi pada lempeng benua. Secara perlahan, lempeng benua akan mengalami pengangkatan. Pada skala ruang yang lebih kecil (lokal atau regional), perubahan iklim lebih cenderung berdampak negatif pada litosfer. Dampak yang paling mudah terdeteksi adalah tanah menjadi lebih kering karena tingkat penguapan yang meningkat. Beberapa dampak lain yang lebih sulit terlihat antara lain: erosi glasial berkurang, pelapukan mekanik oleh es berkurang, meningkatnya erosi oleh air yang mengalir, dan meningkatnya pengendapan sedimen.

Kesetimbangan neraca air secara umum akan terganggu dengan adanya perubahan iklim. Gangguan tersebut dimulai dari adanya peningkatan evapotranspirasi yang menyebabkan peningkatan kandungan uap air di atmosfer. Akibatnya, curah hujan pun akan meningkat. Curah hujan yang meningkat akan memperbesar potensi terjadinya banjir dan tanah longsor. Suhu udara tahunan global yang meningkat akan mengurangi jumlah salju yang turun saat musim dingin dan meningkatkan pencairan es di kutub. Dengan demikian, luas permukaan kriosfer pun akan mengecil, ketinggian muka air laut rata-rata akan meningkat, dan lautan akan meluas secara perlahan. Perluasan lautan akan memperparah intrusi air laut pada air tanah yang berdekatan dengan pantai.

Hingga saat ini, telah ditemukan beberapa bukti mengenai dampak perubahan iklim terhadap flora dan fauna. Bukti yang paling nyata adalah perubahan persebaran wilayah hidup beberapa spesies serta kepunahan beberapa spesies flora dan fauna karena tidak dapat beradaptasi dengan perubahan iklim. Contoh dampak lain pada flora dan fauna akibat perubahan iklim adalah periode hibernasi yang lebih pendek bagi mamalia, perubahan migrasi burung, dan jangka waktu hidup tahunan yang lebih lama bagi tumbuhan.


Dari segi humanosfer, banyak sekali dampak yang muncul akibat perubahan iklim. Dampak-dampak tersebut dapat dibagi menjadi beberapa sektor, antara lain kesehatan, lingkungan, migrasi penduduk, keamanan, sosial, energi, dan transportasi. Berkurangnya kesehatan rata-rata penduduk dunia sebagai dampak perubahan iklim dapat terjadi karena meningkatnya penyebaran penyakit, semakin ekstremnya cuaca dan iklim, meningkatnya polusi udara, dan berkurangnya produktivitas pertanian. Pada sektor lingkungan, perubahan iklim dapat mengurangi jumlah cadangan air bersih di dunia. Berkurangnya cadangan air bersih ini bisa terjadi karena meningkatnya polusi air tanah, intrusi air laut, dan kekeringan. Meningkatnya ketinggian muka air laut dan desertifikasi akan membuat banyak penduduk terus bermigrasi ke wilayah lain. Perubahan iklim secara tidak langsung juga dapat meningkatkan kriminalitas karena semakin banyaknya konflik sosial yang terjadi antar sesama manusia. Sumber konflik sosial tersebut antara lain kemiskinan, kelaparan, dan penyakit. Di sektor energi, perubahan iklim mengurangi suplai listrik secara tidak langsung melalui berkurangnya dan/atau bertambahnya curah hujan secara signfikan serta rusaknya infrastruktur pembangkit listrik akibat bencana alam seperti banjir yang semakin sering terjadi.

Monday 2 February 2015

EFEK GAS RUMAH KACA TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

Greenhouse gasses atau gas rumah kaca adalah gas di atmosfer yang mengurangi pelepasan panas oleh permukaan Bumi ke luar angkasa dan mempengaruhi suhu rata-rata global di Bumi. Dalam jumlah yang cukup, gas rumah kaca membantu menghangatkan suhu udara di Bumi sehingga Bumi dapat ditinggali oleh seluruh makhluk hidup. Dengan konsentrasi gas rumah kaca yang ada di atmosfer saat ini, suhu rata-rata di Bumi adalah sekitar 150C. Tanpa adanya gas rumah kaca di atmosfer, suhu rata-rata di Bumi sangat dingin bagi kebanyakan makhluk hidup, yaitu -190C. Gas rumah kaca di atmosfer tergolong gas variabel karena konsentrasinya berubah terhadap ruang dan waktu. Jika diurutkan dari yang volumenya paling banyak hingga yang paling sedikit, gas-gas rumah kaca di atmosfer Bumi antara lain uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), chlorofluorocarbon (CFC), dan ozon (O3).

Pada awalnya, radiasi matahari memasuki atmosfer dan memanaskan permukaan Bumi. Menurut hukum Wien, suhu permukaan Bumi yang rata-rata 288 K menyebabkan permukaan Bumi memancarkan radiasi gelombang panjang (inframerah) sembari menerima radiasi matahari di siang hari. Jika tidak ada gas rumah kaca di atmosfer, radiasi gelombang panjang ini akan lolos seluruhnya ke luar angkasa. Gas rumah kaca di atmosfer menyerap sebagian radiasi gelombang panjang ini dan memancarkannya kembali ke arah permukaan Bumi.

Meskipun keberadaan gas rumah kaca sangat penting bagi kehidupan di Bumi, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer akan menyebabkan peningkatan suhu rata-rata global di Bumi hingga makhluk hidup menjadi kurang nyaman tinggal di Bumi. Semakin tinggi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, semakin banyak radiasi gelombang panjang dari permukaan Bumi yang diserap dan dipancarkan kembali ke permukaan Bumi. Akibatnya, radiasi yang diserap oleh permukaan Bumi semakin banyak dan suhu permukaan Bumi akan meningkat seiring berjalannya waktu.


Sebelum masa industri, konsentrasi gas CO2 di atmosfer Bumi sekitar 280 ppm (0,028%). Saat ini, kandungan CO2 di atmosfer mencapai 380 ppm (0,038%). Secara alami, CO2 masuk ke atmosfer melalui proses respirasi pada makhluk hidup, peluruhan zat organik, kebakaran hutan, dan erupsi gunung api. Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer saat ini lebih dominan disebabkan oleh proses antropogenik (aktivitas manusia), antara lain penggundulan hutan, emisi dari pembakaran bahan bakar fosil, penggundulan hutan, dan perubahan tata guna lahan.

Di tata surya, terdapat sebuah planet yang efek rumah kacanya sangat ekstrem sedemikian sehingga suhu permukaannya pun menjadi ekstrem. Planet tersebut adalah Venus. Tanpa efek rumah kaca, suhu permukaan Venus seharusnya hanya -100C. Namun, kandungan CO2 di atmosfernya yang mencapai 96% menyebabkan suhu permukaan Venus melonjak jauh menjadi 4530C. Itulah gambaran mengenai dampak ekstrem efek rumah kaca terhadap suhu permukaan suatu planet.

Rumus Clausius-Clayperon merupakan rumus yang menghubungkan antara tekanan uap air jenuh dan suhu udara. Rumusnya adalah sebagai berikut:



Persamaan di atas menyatakan bahwa udara yang lebih hangat memiliki potensial untuk menyimpan lebih banyak uap air per satuan volume. Contohnya adalah udara bersuhu 300C dapat menampung 3,5 kali lebih banyak uap air daripada udara bersuhu 100C. Model iklim saat ini memprediksi bahwa peningkatan konsentrasi uap air di udara yang lebih hangat akan meningkatkan efek rumah kaca oleh gas CO2.