Friday 1 May 2015

PERBEDAAN WAKTU HIDUP PADA GAS RUMAH KACA , AL-GORE , MONCKTON


Gas rumah kaca di atmosfer Bumi yakni uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O) memiliki waktu hidup (lifetime) yang berbeda-beda di atmosfer. Uap air mempunyai lifetime sekitar 10 hari di atmosfer, metana 12 tahun, dan dinitrogen oksida 114 tahun. Untuk lifetime karbon dioksida, banyak versi yang bermunculan. Para ilmuwan pro pemanasan global dan IPCC menyatakan bahwa lifetime CO2 antara 50 – 200 tahun, sedangkan kelompok ilmuwan lain yang relatif netral (atau bahkan kontra) dengan isu pemanasan global menyatakan lifetime CO2 berkisar antara 2 – 12 tahun. Dari penjelasan tersebut, jelas terlihat bahwa lifetime CO2 sangat bervariasi, tergantung pada sumbernya.
Terlepas dari ada atau tidaknya manipulasi data lifetime CO2 yang dikeluarkan oleh IPCC, lifetime gas-gas rumah kaca di atmosfer berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena setiap gas rumah kaca masuk dan meninggalkan atmosfer melalui proses yang berbeda-beda. Lifetime uap air di atmosfer relatif pendek (hanya sekitar 10 hari) karena uap air sangat mudah untuk masuk (melalui evaporasi dan transpirasi) dan keluar (melalui kondensasi, deposisi, dan presipitasi) meninggalkan atmosfer. Metana juga mempunyai lifetime yang cukup singkat karena ia merupakan gas yang reaktif. Dinitrogen oksida mempunyai lifetime yang cukup lama karena ia terurai dengan lambat di stratosfer. Karbon dioksida mempunyai lifetime yang paling bervariasi dan paling sulit untuk diperkirakan (dibandingkan gas-gas rumah kaca lainnya) karena kompleksnya proses masuk dan keluarnya CO2 meninggalkan atmosfer. Ada juga beberapa faktor umpan balik (feedback) berkaitan dengan konsentrasi CO2 yang belum diketahui dengan baik. Proses masuknya CO2 ke atmosfer terjadi melalui respirasi makhluk hidup, penguraian tumbuhan yang sudah mati, letusan gunung api, pembakaran bahan bakar fosil, dan deforestasi. CO2 keluar dari atmosfer melalui proses fotosintesis pada tumbuhan dan fitoplankton serta diserap oleh lautan.

KECENDERUNGAN PUBLIK PADA AL-GORE (An Inconvenient Truth) ATAU MONCKTON (Apocalypse?No!)
Penduduk dunia  sejauh ini masih cenderung setuju dengan teori pemanasan global yang diungkapkan oleh Al Gore. Berkebalikan dari kecenderungan penduduk dunia, sebuah survey menunjukkan bahwa hanya ada 34 % penduduk Amerika Serikat yang setuju dengan isu pemanasan global. Di Indonesia, kesadaran akan isu pemanasan global masih tergolong rendah dibanding negara-negara lain. Masyarakat Indonesia yang sadar akan isu pemanasan global cenderung setuju dengan teori pemanasan global yang disebabkan oleh manusia (setuju ke arah Al Gore). Hal ini tidak terlepas dari maraknya pemberitaan mengenai isu pemanasan global (beserta dampaknya) di berbagai media massa. Banyak orang yang tinggal di perkotaan merasa akhir-akhir ini cuaca semakin panas, sehingga mereka semakin yakin dengan adanya isu pemanasan global. Padahal, cuaca di perkotaan memang terasa lebih panas daripada daerah sekitarnya karena efek pulau panas perkotaan (Urban Heat Island). Selain itu, luasnya penyebaran data-data berbasis IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) di internet yang mendukung isu pemanasan global antropogenik juga menyebabkan orang-orang yang sering menelusuri (browsing) internet terpengaruh dan cenderung setuju dengan isu pemanasan global.
Pada akhir tahun 2009, seorang hacker berhasil membobol jaringan dari server Climate Research Unit (CRU) di University of East Anglia (UEA) di Inggris. Hacker tersebut mendapat sekumpulan data dan email yang membahas tentang isu pemanasan global. Email-email itu berisi percakapan antara para ilmuwan di tempat tersebut sejak tahun 1997 sampai sekarang yang menunjukkan adanya manipulasi pada data pemanasan global. Terbongkarnya kasus ini membuat sebagian masyarakat di dunia Barat gempar dan diperkirakan akan menurunkan kecenderungan publik pada isu pemanasan global. Berita ini ternyata kurang diekspos di Indonesia, sehingga masih banyak masyarakat Indonesia yang cenderung setuju dengan isu pemanasan global yang digaungkan oleh Al Gore. Terlepas dari itu, mungkin sebagian orang akan tetap mempertahankan isu pemanasan global. Isu ini membuat banyak orang sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Jika tidak ada isu pemanasan global, bisa jadi aktivitas perusakan lingkungan semakin menjadi-jadi.

DATA METEOROLOGI DI IPCC YANG SUDAH DIMANIPULASI MASIH DIGUNAKAN
Sekumpulan ilmuwan yang meneliti pemanasan global terbagi menjadi 2 kubu. Kubu pertama setuju dengan pemanasan global yang disebabkan oleh manusia (Anthropogenic Global Warming (AGW)), sedangkan kubu lain tidak setuju dengan AGW. Kubu pertama juga dikenal sebagai kubu pro Al Gore. Hingga saat ini, jumlah ilmuwan pro AGW masih lebih banyak daripada yang kontra AGW. Terbongkarnya kasus manipulasi data-data IPCC tidak serta merta membuat masyarakat dunia (termasuk para ilmuwan di luar dunia Barat) sadar dan mengubah kecenderungannya dari isu pemanasan global. Kasus manipulasi data-data IPCC kurang diekspos di media massa, serta data-data IPCC di internet masih banyak beredar. Selain itu, kebanyakan ilmuwan di luar dunia Barat masih kekurangan dana dan peralatan untuk meneliti lebih lanjut tentang isu pemanasan global beserta dampaknya. Hal ini membuat banyak ilmuwan di luar dunia Barat di bidang meteorologi (dan bidang-bidang lainnya) masih mengandalkan data-data IPCC untuk digunakan sebagai basis penelitian mereka. Para peneliti dari kubu pro Al Gore pun tidak menyerah untuk terus menyebarkan data-data pemanasan global yang telah dimanipulasi. Dengan demikian, data-data meteorologi di IPCC masih digunakan sampai sekarang di dunia meteorologi.

PENYEBAB PERUBAHAN IKLIM DILIHAT DARI KECENDERUNGAN PENDAPAT AL-GORE DAN MONCKTON
Dalam film “An Inconvenient Truth”, Al Gore sejak awal sudah menyatakan bahwa penyebab perubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini adalah peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (terutama CO2). Berdasarkan data-data yang ia tampilkan di film ini, terdapat korelasi antara konsentrasi CO2 di atmosfer dengan suhu rata-rata global. Semakin tinggi konsentrasi CO2 di atmosfer, semakin tinggi suhu rata-rata global. Akhir-akhir ini terjadi peningkatan konsentrasi CO2 jauh melebihi tingkat yang pernah dicapai sebelumnya sejak 650.000 tahun yang lalu. Oleh karena itu, Al Gore menyimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 akhir-akhir ini terjadi karena aktivitas manusia yang mengeluarkan emisi CO2 melalui pembakaran bahan bakar fosil.

Monckton justru meragukan pernyataan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer dalam filmnya yang berjudul “Apocalypse? No!”. Ia menemukan beberapa fakta mengejutkan mengenai data-data dari IPCC. Banyak data-data dari IPCC yang dipalsukan agar seolah-olah memperlihatkan bahwa perubahan iklim benar-benar terjadi akibat peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer. Data-data dari Monckton menunjukkan korelasi yang buruk antara konsentrasi CO2 di atmosfer dengan suhu rata-rata global. Fenomena yang korelasinya cukup baik dengan dinamika perubahan suhu rata-rata global adalah aktivitas Matahari. Ketika aktivitas Matahari mencapai tingkat maksimum, suhu rata-rata global pun mencapai tingkat maksimum. Begitu pula sebaliknya.